Membaca situasi bangsa Indonesia saat ini seakan hanya berupa sketsa duka. Rakyatnya bersedih atas segala celaka yang menimpa; bom bunuh diri, kecelakaan pesawat terbang, tabrakan kapal, kebakaran, pembantaian primata, dan yang tak kalah destruktifnya adalah korupsi para pejabatnya. Yang tersebut terahir itu, sudah banyak indikasi telah mengalami diaspora hingga ke kalangan birokrasi di tingkat terendah rakyatnya.
Untuk peristiwa-peristiwa yang menimpa sebelumnya, marilah kita bersikap legawa dan memberikan kepercayaan pada pihak-pihak terkait untuk segera mengatasinya, tentu tanpa mengurangi dukungan dan pengawasan kita sebagai bagian dari anasir bangsa. Namun, untuk yang disebut di akhir, penulis mengajak untuk mencermati bagaimana sesungguhnya korupsi itu pada awalnya dan bagaimana cara kerjanya.
Korupsi, pada awalnya
Sekitar abad 14, seorang sejarawan dan sosiolog muslim Ibnu Khaldun pernah menulis tentang korupsi sbagai berikut: “Sebab utama korupsi adalah nafsu untuk hidup mewah melalui jalan pintas. Korupsi yang dilakukan pada level atas akan menyebabkan kesulitan-kesulitan ekonomi dan kesulitan ini pada gilirannya akan membangkitkan korupsi lebih lanjut. Justru karena itu pemberantasan korupsi harus dimulai dari akarnya, yaitu pada level atas dan penanggulangannya harus pula melibatkan seluruh komponen bangsa”
Korupsi pada awalnya hanyalah sebuah budaya suap yang sering ditujukan untuk mempermudah suatu urusan antar manusia. Belum ada formula atau konsepsi formal untuk mendefinisikannya. Saat terjadi revolusi Prancis muncul prinsip-prinsip pemisahan antara kepentingan dan kepemilikan harta pribadi dan kewenangan atas jabatan yang diembannya, baik ia seorang pejabat negara maupun dalam jajaran pejabat suatu perusahaan. Sejak saat itu, penyalahgunaan wewenang kekuasaan dan jabatan demi kepentingan pribadi -khususnya dalam soal keuangan- dicap sebagai perilaku korupsi. Disamping itu, korupsi juga di maksudkan sebagai tindakan menyimpang dari tugas-tugas resmi atas jabatan atau kekuasaan yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan pribadi berupa status sosial, popularitas, kekayaan, atau untuk skala perorangan, karib-kerabat, maupun untuk kelompoknya sendiri.
secara etimologis, korupsi (korruptie, Belanda) berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, penyuapan (riswah, Arab), penggelapan, kerakusan, amoralitas dan segala penimpangan dari jalur kebenaran. KBBI mendefinisikan korupsi sebagai penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dsb.) untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Dalam konteks politik, korupsi berperan saat seseorang menyelewengkan kewenangan atas jabatan yang dimilikinya, seperti penyalahgunaan anggaran sosial, pembangunan dan lain sebagainya.
Korupsi adalah tindak kejahatan di ranah publik, karena itu jenis kriminal ini terkenal di seluruh penjuru bumi dan menjadi permasalahan global. Tercatat ada beberapa istilah yang digunakan untuk menggambarkan bagaimana sebuah praktek korupsi terjadi. Istilah ini awalnya adalah hal wajar sebagai bagian dari budaya masyarakat setempat, namun kemudian mengalami penyempitan makna setelah tersentuh kepentingan untuk melakukan praktek korupsi. Di China, Hongkong, Taiwan dan Macao terkenal istilah Angpao atau amplop merah yang berisi sejumlah uang. Angpao biasanya deberikan saat hari raya Imlek, namun dalam perkembangannya korupsi dapat menyusup masuk dan menunggangi budaya ini. Begitu juga di negara lain, di Arab ada Baksis, Payola di Filipina, Metabiche di Afrika Tengah, Propina di Amerika Latin, Fakelaki di Finlandia, Pots de vin di Perancis, dan Schmiergeld di Jerman. Di jajaran institusi pun muncul c-world (IMF, IDB) dan kick-back (pejabat institusi).
Tak kalah di negara kita, jamak ditemui istilah-istilah yang -paling tidak saat ini- di asosiasikan sebagai praktek korupsi. Kita mengenal ada istilah ‘uang pelicin’ saat seseorang mau agar urusannya segera selesai bagai belut yang licin. Atau ada juga pungli sebgai akronim dari pungutan liar yang sering diminta -paksa- oleh preman maupun petugas legal.
Banyak istilah-istilah yang tadinya bermakna baik kini menjadi buruk karena praktek korupsi. Di Jawa Tengah ada istilah dan praktik memberi upeti, di Medan ada silua, yakni keiasaan membawa oleh-oleh saat berkunjung ke rumah seseorang dengan tujuan untuk mempererat kekerabatan. Tujuan tersebut saat ini banyak diselewengkan untuk mempermudah kenaikan jabatan atau kelancaran urusan proyek. Ada juga istilah ihot-ihot, yaitu memberikan uang saksi sebagai imbalan karena seeorang telah bersedia menjadi saksi dalam transaksi pembelian tanah yang riskan terjadi suap.
Istilah yang bermakna baik seperti sulang-sulang hariapan yang berarti kebiasaan membawa makanan kepada orang tua yang lanjut usia kini berkembang manjadi membawa sesuatu, tak harus makanan, tetapi juga uang atau barang berharga lain kepada atasan di kantor oleh bawahan. Di Surabaya, ada istilah duit rokok dan uang kopi, di Medan hal itu disebut hepeng par sigeret, di Makassar namanyapamalli’ kaluru, di Bandung artos rokok, dan di Padang ada uang takuik atau uang takut yang dipungut liar oleh preman.
Kita juga sering disuguhi istilah ‘uang administrasi’ saat mengurus surat kehilangan di kantor polisi, yang kadang mengesalkan karena sambil berkata ’seikhlasnya saja’.
Sekilas sejarah korupsi
Sedikit menengok kebelakang, dalam sebuah buku berjudul History of Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816) yang diterbitkan pertama kali pada 1918 digambarkan beberapa hal menarik mengenai karakter dan budaya masyarakat jawa.
Penduduk jawa Digambarkan sebagai masyarakat yang ‘nrimo’ atau menerima atas segala hidup yang dimilikinya atau juga bisa dikatakan pasrah dengan keadaan. Akan tetapi disisi lain ia memiliki keinginan untuk dihargai oleh pihak lain, tidak suka berterus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan saat tidak ada orang lain yang mengetahui. Hal menarik lainnya adalah adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang umumnya abdi dalem suka mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku oportunis. Di kalangan elit kerajaan, raja sangat suka disanjung, dihormati, dihargai dan tidak suka menerima kritik ataupun saran. kritik ataupun saran yang disampaikan dimuka umum lebih dianggap sebagai tantangan dan upaya perlawanan terhaap kekuasaanya. Akibatnya, budaya kekuasaan di Nusantara (khususnya jawa) cenderung otoriter.
Budaya yang sangat tertutup ini turut menyuburkan benih-benih korupsi di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan korupsi dalam mengambil upeti atau pajak dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada TUmenggung. Abdi dalem di ketemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga acap mengkorup pajak tersebut sebelum akhirnya diserahkan kepada Raja atau Sultan.
Di zaman pendudukan Belanda, korupsi mengalami pertumbuhan yang lebih sistemik. Melalui system pemerintahan VOC budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan boneka politik oleh penjajah. Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat di wilayah-wilaah tertentu, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia. Mereka, meskipun sama-sama warga pribumi tidak lagi menganggap orang-orang setanah airnya sebagai saudara yang harus dibela. Sebalinya ia memilih berpihak sebagai kaki tangan Belanda dengan harapan akan mendapatkan kedudukan yang lebih baik di lingkungan masyakatnya.
Pasca Kemerdekaan, korupsi tak lantas hilang. Bahkan eksistensinya berhasil menancapkan kekuasaan pemerintahan Orde baru hingga 32 tahun. Saat ini, kita dapat menyaksikan betapa korupsi sudah seperti menjadi makanan sehari hari. Seorang kawan pernah mengatakan: ‘bila kedzaliman terus menerus dilakukan maka lama-lama akan menjadi sebuah tindakan yang dibenarkan’. Korupsi bahkan tidak hanya melenggang di tubuh birokrasi-pemerintahan saja, tapi juga mewabah hingga perusahaan dan lembaga-lembaga swasta.
Kita tidak tahu kapan korupsi akan menghinggapi kita. Boleh saja kita yakin, korupsi tidak akan kita lakukan karena kita masih menjunjung tinggi moralitas dan kemuliaan iman. Akan tetapi, korupsi sudah seperti mendarah-mendaging, berkamuflase dalam prosedural-prosedural yang semakin tampak legal. Lantas, akankah kita mampu tetap suci dari korupsi? Semoga Tuhan melindungi..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar